WAJAH DAN TOPENG

SECARA kultural, wajah tidak lagi bermakna sebagai bagian depan dari kepala atau roman muka. Tetapi, wajah memiliki sejumlah makna yang berlapis-lapis. Wajah dengan mudah akan menunjuk pada persoalan usia, gender, dan ras. Maka, jaringan-jaringan makna yang dibangunnnya pun akan makin meluas. Sebutlah misalnya ketika kita melihat wajah Angelina Jolie maka dengan mudah kita akan menyusun makna perempuan pesohor itu hubungannya dengan Lara Croft, hiper seksualitas, libidonomics, perempuan berkulit putih, budaya pop, bahkan dengan feminisme.
Wajah, juga tak hanya terhubung dengan kultur si pemilik wajah, ia (wajah) dibentuk juga oleh realitas biologis. Betapa tidak, bukankah pada wajah terdapat 80 otot mimik yang mampu membuat lebih dari 7.000 ekspresi. Bayangkan, betapa dahsyatnya sang wajah. Kalau setiap ekspresi itu bisa diberi nama, betapa kayanya bahasa verbal kita dengan kosa yang akan berlimpah.
Telah banyak teoritisi budaya yang memaknai wajah dalam berbagai perspekrif. Gloria Swanson misalnya, pernah berujar: “Kita tidak perlu berdialog karena telah memiliki wajah.”  Swanson agaknya sangat yakin bahwa dari wajah lah komunikasi non verbal telah mengatakan sesuatu yang sesungguhnya. Dalam kitabnya yang termashur, The Body Social: Symbolism, Self, and Society (1993) Synnott menulis bahwa wajah, sebagai sesuatu yang unik, fisik, lunak, dan publik, merupakan simbol utama diri. Ia unik, karena tidak ada dua wajah yang identik, dan di dalam wajahlah kita saling mengenal diri masing-masing, dan mengidentifikasikan diri kita sendiri. Ia bersifat publik, namun juga sangat privat dan intim. Wajah menunjukan usia, gender dan ras dengan bermacam-macam derajat dan keakuratan, juga kesehatan serta status sosial-ekonomi, suasana hati dan emosi kita, bahkan mungkin juga karakter dan kepribadian kita. Pendeknya, wajah, lebih daripada bagian tubuh lainnya, wajah diidentifikasikan sebagai aku atau kamu. 

Bingkai Wajah dan Wajah Bingkai
Pameran lima perupa muda Yogyakarta ini diniatkan sebagai upaya penggalian subject matter wajah dan kemungkinan penyusunan maknanya. Kuratorial ini lebih dekat perannya sebagai bingkai. Artinya, munculnya gagasan kuratorial ini berdasarkan realitas karya rupa dari lima perupa Yogyakarta, yakni: Seno Andrianto, Joko Sulistiono, Setyo Prionugroho, Syaiful A. Rahman dan Roby Fatony. Lima seniman ini, selama ini telah membuat sejumlah karya rupa yang disiapkan untuk pameran bersama di Andi’s Gallery,  Jakarta Art District (JAD), Grand Indonesia, Jakarta. Berdasarkan pembacaan awal terhadap karya kelima seniman ini, maka muncul gagasan untuk memberi wajah bingkai semua kecenderungan perupaan dalam satu kuratorial yang, di satu sisi ‘mengikat’ dalam kesatuan tema, dan di lain sisi memberi ‘kelonggaran’ eksplorasi karya sesuai dengan apa yang telah dikerjakan kelima seniman ini.
Secara kebetulan, kelima seniman ini dalam beberapa tahun terakhir ini menyoal wajah dalam karya-karyanya. Seno Andrianto banyak menggarap wajah-wajah anonim yang dipungut dari dunia maya; Setyo Prionugroho kerap menggali wajah-wajah mitos modern dalam bentuk topeng; Joko Sulistiono dan Syaiful A. Rahman tak hentinya menyoal wajah tokoh legendaris; dan Roby Fatony getol membolak-balik potret dirinya. Lima seniman ini, secara sendiri-sendiri melakukan eksplorasi perupaan sekaligus secara menerus menggali kemungkinan pemaknaannya. Pendeknya, bukan hanya menyoal urusan visual belaka, tetapi (dan ini yang terpenting) juga menajamkan obyek kajian wajah hingga ke persoalan latar dan konteksnya. Dua hal inilah yang menjadi bagian paling fundamental dalam karya mereka. Persoalan visual dan konteksnya, itulah bingkai wajah dalam karya mereka.
Bersandar pada teori Anthony Synnott tentang tubuh, khususnya tentang wajah, bingkai kuratorial ini ditetapkan. Diharapkan, para seniman ini sepenuhnya melakukan penggalian terhadap wajah seseorang, entah itu wajah yang dikenal publik, atau mungkin wajah yang tak dikenal publik. Pada posisi inilah, maka aku atau kamu menjadi amat penting dalam ingatan (kolektif) masyarakat luas. Sebutlah misalnya, wajah figur publik yang amat terbiasa dimamah media massa, maka yang kemudian ingin dicapai dari pameran ini adalah perkara bagaimana seniman memberi makna (baru) ke dalam wajah yang dikenal luas itu. Jika kemudian seniman melukiskan wajah yang tak dikenal publik, maka yang diharapkan dari pameran ini adalah bagaimana seseorang yang tak dikenal itu bisa diakrabkan ke benak kita melalui berbagai perangkat yang melekat pada wajahnya. Ia yang tak kita kenal, pada akhirya teridentifikasi juga bagian-bagian wajahnya sebagaimana kita membaca wajah kita sendiri. Itulah privat, itulah publik.
Di lain sisi, wajah kerap juga dibakukan dalam satu identitas permanen. Dalam khasanah kebudayaan dunia, dikenal perangkat yang bernama topeng. Apakah topeng itu sesungguhnya? Sebagian orang berkesimpulan bahwa topeng itu adalah penutup wajah. Artinya, topeng menyembunyikan wajah asli seseorang. Tetapi, sebagian yang lain berkesimpulan terbalik: topeng adalah wajah sesungguhnya, karena dari topeng akan terlihat karakter yang permanen. Ia berketetapan, terbuka, dan tak bisa berubah-ubah.  
Topeng dalam dongeng-dongeng tradisional adalah penyembunyian sesuatu dan keterbukaan karakter sesungguhnya. Dalam dongeng modern, topeng adah mitos yang dikonstruk untuk tujuan penceritaan keheroan seseorang atau budaya tertentu. Pada mitos modern inilah berbagai ideologi ditanamkan pada topeng. Diharapakan, seniman yang mengungkap subject matter topeng bisa memberikan semacam imbuhan daya kritis pada citra yang selama ini dikonstruksikan pada topeng tertentu. Dengan demikian, dongeng modern tentang batman, superman, robocop atau apa saja, sesungguhnya tidak bermakna tunggal.
Pembacaan terhadap karya ini, juga bersandar pada teori budaya pop seperti yang kerap didengungkan oleh kelompok cultural studies. Diharapkan, pembacaan akan meluaskan makna wajah dan topeng, sekaligus membuka selubung penutup seperti yang telah dilakukan oleh para seniman peserta pameran ini. Pameran ini, sekali lagi, adalah pameran dengan kuratorial membingkai. Ada pengikat tetapi juga ada keluasan pengembaraan. Keduanya, tetap dalam tajuk ‘Wajah dan Topeng.’ 

Diri, Tokoh, dan Anonim
Potret diri dalam karya seni rupa adalah gambaran tentang tampang si perupa oleh perupanya sendiri. Kerap juga gambaran ini tak hanya menyoal tampang atau wajah si perupa, tetapi menyeruak ke perkara diri (self) yang bermakna sebagai ego, aku, kepribadian, atau organisasi sifat-sifat. Dengan kata lain, pada makna ‘diri’ terkandung suatu kesadaran pada individu mengenai identitasnya, kesinambungannya, dan gambaran-gambaran atau kesan bayang-bayangnya. 
Dua perupa dalam pameran ini, Setyo Prionugroho dan Roby Fatony, menyoal diri pada batasan sebagai ‘gambaran-gambaran’ atau ‘kesan bayang-bayangnya’. Lihat misalnya bagaimana Setyo Prionugroho dalam memaknai Robocop dengan mengubah wajah sang polisi-mesin itu sebagai dirinya. Ada semacam penilain-diri (self evaluation) yang bibuat sendiri tentang dirinya. Cara ini, sesungguhnya lebih menjelma sebagai cara Setyo Prionugroho dalam mengkritisi karakter permanen tentang Robocop. Biografi tubuh Robocop sebagai seorang polisi yang hancur lalu dirakit dengan berbagai instrumen mesin yang permanen, dan menjelma dalam karakter hero adalah sebuah citra yang dibangun sebagai mitos modern. Setyo rupanya tak ingin menyalahkan pemilik dan penikmat kebudayaan Robocop itu, ia lebih suka mengkritisinya dengan menyalin sang hero itu sebagai dirinya.  
Kita mengerti bahwa hero bukanlah pahlawan. Audifax misalnya, menegaskan bahwa istilah ‘hero’ berkonotasi pada sosok yang menyelamatkan dan menjadi idola/pujaan. Istilah ‘pahlawan’ cenderung berkonotasi pada orang yang mengorbankan sesuatu dari dirinya untuk kepentingan orang banyak.  Pada karya Setyo inilah makna permanen tentang keheroan Robocop misalnya, coba dibangun dengan cara melebarkan makna pada wilayah daya kritis. Dalam percakapan dengan penulis, Setyo menuturkan: “Manusia itu seperti mesin. Ia diprogram oleh dirinya juga oleh lingkungannya untuk terus bekerja dan bekerja. Dibangun suatu obsesi tentang kerja.  Manusia tipe itu sesungguhnya lemah, seperti binatang yang mudah dikendalikan.”   Jelaslah bahwa fokus kajian Setyo tentang Robocop, Batman, atau dongeng modern lainnya ihwal keheroan ini serupa jalan untuk mengkritisi kehidupan hari-hari ini dalam tatanan masyarakat modern. Sebuah representasi dengan jalan memimjam atau menghadirkan praktik masyarakat modern lewat suatu yang lain dari dirinya yakni berupa tanda atau simbol.
Serupa dengan representasi yang dipilih Setyo, Robby Fatony juga memimjam potret dirinya sebagai analog dari masyarakat modern. Dewasa ini misalnya, kehawatiran banyak orang tentang lingkungan makin hari makin meningkat sejalan dengan kerusakan lingkungan itu sendiri. Robby, sebagai kepala keluarga, memiliki kehawatiran terhadap generasi penerusnya (anak) atas lingkungan alam yang makin memburuk. Jalan yang ditempuh Robby atas kehawatiran ini adalah merepresentasikan ke dalam ungkapan visual. Lukisannya yang dibangun melalui metode drawing ingin mengisahkan narasi tentang kehawatiran itu. 
“Saya cemas, lima tahun yang akan datang, lingkungan kita akan serupa apa. Saya harus melindungi saya dan keluarga saya dari dampak lingkungan ini,”  tutur Robby dalam percakapan dengan penulis pada suatu malam di Yogyakarta. Pilihan Robby melalui metode drawing dalam merepresentasikan kekhawatiran ini seperti laku berzikir yang secara menerus diulang-ulang. Ujung pensil yang tajam berulang-ulang, ribuan kali,  digoreskan ke permukaan kanvas untuk membangun gambaran tentang apa yang dirasakannya itu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Emma Dexter: “Drawing is a feeling, an attitude that is betrayed in its handling as much as in the materials used.”  Agaknya, melalui drawing Robby telah sampai pada keinginanya untuk menyatakan sesuatu dengan meminjam jas hujan, sepatu boot, dan masker sebagai metafora dari perlindungan itu.

Dua seniman lain, Syaiful A. Rahman dan Joko Sulistiono memilih wajah atau tokoh terkemuka, Liberty dan John Lennon misalnya,
untuk menyatakan sesuatu. Pada karya Syaiful, wajah sang tokoh itu dibentuk oleh sekumpulan orang dalam satu konvigurasi. Gagasan visual ini, seperti yang diakui Syaiful, terinspirasi oleh upacara perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang menghadirkan konvigurasi sejumlah pelajar dalam membentuk image wajah kepala negara, seperti yang rutin disiarkan oleh televisi setiap tanggal 17 Agustus. Gagasan kemudian berkembang ke persoalan pembentukan seseorang sebagai tokoh yang dikonstruk oleh para penggemarnya. “Praktik-praktik peniruan oleh penggemar kepada tokoh idolanya, pada akhirnya makin menguatkan ketokohan itu sendiri. Orang-orang adalah komunitas yang saling melengkapi pengetahuannya tentang sang idola,”  tegas Syaiful.
Apa yang diungkapkan Syaiful tentang penggemar, tampak jelas menegaskan kembali tentang makna penggemar seperti yang pernah didengungkan Henry Jenkins: “Apa yang signifikan tentang penggemar adalah bahwa mereka merupakan komunitas konsumen yang sangat aktif dan vokal yang aktivitas-aktivitasnya mengarahkan perhatian pada proses pemberian (makna) kultural ini. Para penggemar tidaklah unik dalam status mereka sebagai pemburu tekstual, kendati demikian, mereka telah mengembangkan tindak berburu menjadi sebentuk seni.” 
Joko Sulistiono punya cara lain dalam merepresentasikan tokok. Ia misalnya memilih John Lennon atau tokoh lainnya yang dihubungkaitkan dengan wajah kota. Dalam hal ini, kota diwakili oleh berbagai jejak visual yang terdapat di permukaan tembok-tembok kota. Entah itu sisa sejumlah teks iklan, promosi, kampanye, atau bentuk komunikasi lainnya. Kerap juga Joko menghadirkan sisa-sisa atau jejak grafiti. Bagi Joko, jejak visual ini dihadirkan sebagai penanda waktu atau zaman. “Ada rangkaian peristiwa yang membentuk wajah kota, yakni kata-kata dan koloni. Pada waktu tertentu dua hal itu akan menjelma menjadi ikon sebuah kota. Pada waktu yang lain, ia akan hilang ditutup ikon lain. Wajah kota akan berlapis-lapis dari waktu ke waktu,”  tutur Joko tentang konsep karyanya.
Pada image tembok kota inilah Joko menyertakan wajah tokoh, John Lennon misalnya, yang memiliki banyak penggemar. Dalam pandangan John Storey, para penggemar yang mengonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara mengada (way of being) di dunia. “Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultur anak muda berarti memperlihatkan selera musikal tertentu dan mengklaim bahwa konsumsinya adalah kreasi komunal.”  Pada posisi inilah Joko jelas ingin menghadirkan cara mengada komunitas atau koloni tertentu dengan disertai juga tindak intertekstualitas melalui kutipan teks-teks tembok kota. Wajah, pada karya Joko adalah wajah ganda tentang sang tokoh dan kota.
Seno Andrianto sesungguhnya kerap juga menggarap wajah tokoh, tetapi pada pameran ini, ia sepenuhnya menghadirkan wajah anonim yang dipungutnya dari dunia maya. Sejumlah perempuan anonim mewakili Seno dalam menarasikan ihwal ketakutan kaum perempuan. Tubuh bagi perempuan adalah hal yang paling menakutkan. Kepemilikan tubuh yang sempurna dalam kematangan yang ideal adalah tanda akan munculnya ketakutan akan kekeroposan tubuh. Seno berpandangan: “Perempuan muda pada tingkat kematangan tubuh yang ideal mulai memiliki ketakutan akan keropos. Inilah persoalan perempuan dengan tubuhnya sendiri. Saya ingin menarasikan rasa cemas itu melalui jalan citra pengeroposan.” 
Secara visual, jalan yang ditempuh Seno adalah langsung memberi citra keropos pada subyek tubuh perempuan. Asosiasi yang dibangun melalui jalan pelukisan ini adalah asosiasi langsung yang dengan mulus segera mudah dipahami. Jalan Seno adalah jalan terbuka sebagai mana sang subyek lukisan yang juga (nyaris) serba terbuka. 
Begitulah pembacaan saya terhadap sejumlah karya dalam pameran ini. Sebagaimana hakikat pembacaan, maka di sana sini akan banyak karakter distorsif. Tetapi, begitulah pembacaan. Ia (pembacaan) bukanlah penyempitan tafsir, tepatnya ia adalah penjelasan bagi diri saya sendiri.