Apa yang datang pada hidup, dan apa yang akan pergi darinya tak pernah persis kita tahu. Yang kita sadari dari dulu hingga kini hanya sedikit saja; hidup ada di tengah ruang dan waktu yang bergerak dari sesuatu awal dan berujung pada akhir. Awal dan akhir itu sendiri begitu singkat, seperti kita menuliskan beberapa paragraf tulisan dalam sebuah komputer. Selebihnya yang terpanjang akan tinggal selaku cerita, selaku kenangan, selaku fosil, dan tumpukan tanda-tanda.
Karya-karya Putu Adi Gunawan, dan Joko “Gundul” Sulistiono, yang tengah berpameran ini seperti meremajakan kembali pikiran kita tentang hal itu. Karya-karya lulusan Seni Lukis dan Seni Patung, FSRD-ISI, Yogyakarta, ini menyodorkan paradoks; harapan-harapan yang berulang-ulang kita harapkan sepanjang hidup; kebahagiaan, kegembiraan, dan harmoni . Tapi, dibalik awal dan akhir itu menanti bayang-bayang horor kehancuran dan kematian, mengikuti hukum kehidupan itu sendiri. Sebuah horor mungkin hanya sebagian gerak atau evolusi yang, tak pernah kita tahu sampai kapan ia akan terus mengubah dirinya.
Pada pameran yang mengikat keduanya dalam sebuah frasa “DUA TANDA”, ini Joko Sulistiono, 38 tahun, kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, menampilkan lukisan dengan media campur di atas kanvas. Ia mencampur unsur-unsur lukisannya dengan kolase, medium yang sejak mahasiswa sangat digemari, dan sampai kini terus dikembangkannya. Tahun 2000 lalu, kolasenya pernah masuk dalam 10 besar karya-karya terbaik kompetisi “Phillip Morris Art Award” di Singapura. Ia pernah mengikuti sejumlah pameran bersama di Bali, Yogyakarta, Jakarta, dan Singapura. Sedangkan Putu Adi Gunawan, 34 tahun, keturunan perajin Bali, kelahiran Parigi, Palu, Sulawesi Tenggara, yang sudah mantap dengan pilihannya pada patung-patung perunggu yang dicetak sendiri di studionya di kawasan Sleman, pinggir kota Yogyakarta, menampilkan patung-patung figur. Ia memotret ironi dan parodi dari kehidupan kita kini.
FOSIL-FOSIL JOGUN
Jogun, demikian akronim dan sapaan akrab Joko “Gundul” Sulistiono oleh teman-temannya, membentang bidang-bidang kanvasnya yang lebar dan besar. Kalau bisa ia malah ingin kanvas yang lebih besar lagi. Tapi, ia tahu tak ada kanvas yang cukup besar untuk menampung gagasan-gagasan rupa yang mengalir deras dari hulu pengalaman dan fantasi yang bercampur baur itu. Jogun memperlihatkan gagasan-gagasan rupa yang bebas, berkembang ke pelbagai arah, dan macam-macam bentuk. Dalam pameran ini, kami memilih salah satu dari kecenderungan tersebut. Karya-karya Jogun tumbuh dari keyakinan bahwa, realitas sesungguhnya terus bergerak entah karena karakter, atau mungkin upaya untuk menyempurnakan eksistensi realitas itu sendiri.
Di studionya, kita tak hanya menemukan lelehan cat, atau sekumpulan tube dan kaleng-kaleng akrilik, tapi juga tumpukan majalah bekas untuk dipilih gambar-gambar terbaiknya. Gambar dari majalah dengan sudut pandang mata kamera yang merekam pelbagai realitas; barang-barang, orang, peristiwa, dan lanskap, itu satu persatu disunting untuk dijadikan elemen rupa pada karya-karyanya. Jogun boleh dikata berjalan di tempat yang sepi. Sebab, di masa kini tak banyak perupa yang tertarik dengan medium kolase yang kerumitannya sudah dapat dipecahkan oleh kecanggihan teknologi dan perangkat lunak komputer. Selain itu, ia juga dapat dicetak dan digandakan dengan bantuan mesin cetak digital.
Agaknya memang lain, Jogun tak anti pada kemajuan teknologi, tapi ia tak suka menempuh jalan yang instan dan mudah seperti itu. Ia masih percaya pada medan magnit emosi yang merambat dan berjejak di atas kanvas. Kolase pada karya-karyanya adalah sesuatu yang tumbuh dari dasar hati, sebuah pergulatan yang tak mudah dihentikan hanya tersebab munculnya teknologi canggih. Pada Jogun, kolase masih tetap ditangani secara konvensional; gambar-gambar ditempel, dan dibiarkan menghuni bidang kanvasnya yang luas, lalu ia membubuhinya sapuan-sapuan lebar cat akrilik. Perpaduan di antara media campur itulah yang menyarankan macam-macam asosiasi bentuk, sebagian besar bahkan tak terduga olehnya sendiri.
Dalam pameran ini yang kita lihat adalah bentuk-bentuk tak terduga yang mengasosiasikan, atau setidak-tidaknya menyerupai ikan. Bentuk-bentuk ikan, dan bentuk-bentuk lain dalam karya-karya Jogun, itu bukanlah sebuah tujuan. Semua bentuk muncul belakangan, lebih sebagai akibat percampuran pelbagai citra yang terbentuk dari sapuan-sapuan cat dan kolase. Pada karya-karyanya yang lain, asosiasi itu muncul dalam bentuk-bentuk pohon, kuda-kudaan, pesawat terbang, mobil balap, Budha, dan seterusnya. Semua gejala rupa pada karya-karyanya diikat dengan citra utama, yaitu; fosil.
Tapi bukan sembarang fosil. Kesan kepurbaan, kelapukan, dan masa lalu tak dibiarkan berhenti sebagai akhir dari sebuah perjalanan. Ia bertali temali dengan realitas kehidupan baru lainnya, menempel, dan menyatu didalamnya. Pada hakikatnya Jogun tak menggambar fosil, seperti juga ia tak menggambar yang lain-lainnya selaku sebuah obyek. Ia justru tengah mempersoalkan fenomenanya; sebuah perubahan yang tak berhenti-henti dari kehidupan itu sendiri.
Lihat misalnya karya berjudul “Sub Marine”, media campur, 150X175 sentimeter, 2 panel (2008). Obyek pada lukisan kolase itu menyerupai fosil dari sesuatu yang pernah hidup, bentuknya tersamar antara sebuah kapal selam dan ikan. Sebuah bentuk fosil yang lebih besar diikuti oleh bentuk-bentuk fosil yang lebih kecil, seolah-olah bergerak mengikuti arus menuju pada sesuatu arah tertentu. Hal menarik bagi Jogun bukanlah bentuk ini atau bentuk itu. Perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain, atau penyamaran dari bentuk-bentuk yang diciptakannya ke pelbagai asosiasi, itulah hal yang menjadi tantangan dan keasyikannya.
Ia percaya pada sebuah perjalanan evolusi yang dari waktu ke waktu akan terus mengubah semua realitas baik yang hidup maupun yang mati. Karya “Evolusi V”, media campur, 150X175 sentimeter (2008), dua panel, di situ Jogun mencoba menjajarkan bentuk-bentuk dan perbedaan antara karakter ikan yang hidup bebas pada habitatnya, dan ikan-ikan seperti fosil yang terbentuk dari sebuah kolase. Citra ikan paling besar yang terbentuk dari kolase itu digambarkan statis tergantung pada seutas tali, mengingatkan kita pada realitas ikan asin dengan mata terbelalak tapi kehilangan kuasa untuk melihat. Jogun agaknya mencoba menegaskan perbedaan karakter antara citra ikan yang telah menjadi fosil dan ikan yang hidup dengan gerakannya yang lincah. Perenungan dan pertanyaan serupa, diulangi kembali oleh Jogun lewat karya-karya Evolusi I, II, dan III.
Lukisan kolase Jogun tak hanya mengingatkan, tapi juga membawa kita untuk merenungi sesuatu yang segera akan rusak, punah, dan berubah wujud dari sesuatu bentuk yang indah dan bagus, ke bentuk-bentuk yang lain.
KAWASAN PERBATASAN PADA PATUNG ADI GUNAWAN
Adi Gunawan masih meyakin-yakinkan kita bahwa, masih ada harapan lewat sebuah senyum, dan sebuah humor di tengah getir. Ia menggambarkan harapan-harapan itu dalam patung tubuh-tubuh tambun, yang dalam tafsir estetika Yunani kuno sebagai perlambang kesuburan dan kegairahan hidup. Dan, dengan itu pula Adi mencoba menangkis bahwa, tubuh tubuh tambun tak semata-mata ranah milik Bottero. Di depan cermin ia sendiri kerap tersenyum dan menertawakan dirinya sendiri yang juga bertubuh subur. Kesadaran menghadap cermin, melihat diri sendiri menghantarkan Adi pada karyanya hampir satu dekade belakangan, seolah-olah itu sebuah representasi dari potret dirinya.
Hidup sebagai pematung adalah sebuah kegembiraan dan selalu membuatnya tersenyum. Di studio tempatnya bekerja yang kini dibantu oleh beberapa asisten, patung-patung perunggu yang masih dalam proses penyelesaian akhir, itu kerap kali harus dipindah-pindahkan untuk menjalani proses kimia dari satu tempat ke tempat lainnya. “Kadang-kadang saya suka tersenyum sendiri melihat patung-patung gendut itu digotong ke sana ke mari”, ujar Adi. Ia tak pernah berhenti berkarya, membuat model dari bahan lempung, kemudian mencetaknya ke dalam bahan perunggu. Semua dikerjakan secara mandiri di studionya yang sederhana itu. Dalam pameran ini, Adi menyertakan 8 patung perunggu dikerjakan antara tahun 2007 dan 2008. Tubuh-tubuh tambun pada semua karyanya, seolah-olah sebuah pembelaan diri dan menolak representasi keindahan yang hanya datang dari mereka yang bertubuh langsing.
Sosok pematung yang selalu gembira dan murah senyum, ini agaknya sejalan dengan karakter dan bentuk-bentuk patungnya yang penuh humor dan parodi. Beberapa tahun belakangan ini, Adi nampak menjelajahi media ungkap pada seni rendah (low art) yang merakyat, akrab, memiliki kekayaan cerita, dan ungkapan. Ia bertolak dari peristiwa biasa sehari-hari, dan dari situ justru kita dibuatnya tersenyum memandangi karya-karyanya. Misalnya pada “The Sound of Music”, perunggu, 85X53X60 sentimeter (2007), menggambarkan kehidupan sebuah keluarga yang damai, di mana seluruh anggota keluarganya terdiri dari orang-orang bertubuh tambun, tengah bermain-main di halaman rumahnya. Bukankah itu impian kita semua, sebuah rumah dengan halaman luas, tapi tak mudah diwujudkan.
Karya yang lebih humoris dapat kita jumpai dalam patung “Pada Suatu Hari”, perunggu, 55X32X56 sentimeter (2008), menggambarkan seekor babi gemuk tengah ditunggangi oleh dua orang petinju berbadan gempal, dan berambut kribo. Pada patung tersebut Adi tampak terampil memain-mainkan plastisitas bentuk, yang tak hanya untuk mendapatkan kesan lucu dan humor yang kuat, tapi juga membawa kita merasakan gumpalan daging yang melekat pada orang, dan pada hewan itu. Ia memahami seluk beluk bentuk hewan dan manusia, sehinggga ke mana pun bentuk obyek yang digambarkannya, kita masih dapat menangkap kebenaran struktur anatominya.
Para perupa yang memasuki kawasan seni rendah umumnya menempuh dua cara. Pertama, mengambil utuh bahasa ungkap seni rendah itu sendiri, mulai dari bentuk, warna, cerita, dan lain sebagainya, biasanya untuk memprovokasi kehadiran seni tinggi (high art) yang dianggap lebih bermutu, berkualitas, dan intelektual. Kedua, bersikap hati-hati, dengan mengambil seperlunya unsur-unsur yang terkandung di dalam produk seni rendah, baik unsur kriya, desain, kebudayaan pop, dan lain sebagainya.
Adi Gunawan, nampaknya menempuh jalan kedua. Agaknya ia sadar, bermain-main dengan bahasa ungkap seni rendah berisiko menyeretnya ke dalam tradisi kriya, apalagi latar belakang tradisi dan budaya Bali yang cukup kuat dari lingkungan keluarganya yang perajin kayu. Adi nampak menyadari kawasan perbatasan antara seni dan kriya itu. Ia berhati-hati, saat mana harus mengerem keinginan yang mulai mengarah ke ranah kriya dan dunia pop, dan saat mana harus mengembangkan lebih dalam prinsip estetik seni patung modern, sebagaimana tercermin dalam patung “Nyanyian Pengantin”, perunggu, 35X26X26, sentimeter (2008), dan “The Kiss”, perunggu 51X23X42 sentimeter (2008), atau pada “The Blind Man”, perunggu, 48X39X33 sentimeter (2008).
Kedua perupa ini memulai sesuatu dari keterbatasan masing-masing. Keterlibatan Jogun dalam lukisan kolase, mulanya tersebab keterbatasan ekonomi karena tak mampu membeli kanvas. Ketika itu, ia masih mahasiswa yang ingin terus melukis. Ketiadaan kanvas membuatnya melirik pada gambar-gambar di koran dan majalah. Ia lalu mengumpulkan, memilih dan menyunting gambar-gambar tersebut untuk dikembangkannya sebagai karya kolase. Mula-mula dikerjakannya di atas kertas kardus, kemudian di atas triplek.
Jogun rupanya keasyikan bermain-main dengan citra-citra yang diperolehnya dari media cetak itu. Majalah-majalah bekas makin beragam menampilkan pelbagai gambar dan warna. Ketika keadaan ekonomi agak membaik, ia tak hanya membuat kolase di atas triplek dan pelbagai obyek, tapi juga di atas kanvas. Teknik kolase pada karya-karya Jogun mengalami perkembangannya sendiri, sebagian besar ia temukan dalam kerja serentang hampir dua dekade. Kita akan segera tertipu apabila tak cermat memandangi karya-karya Jogun, tersebab mata kita yang terbiasa melihat lukisan kolase adalah tempelan guntingan kertas di atas kanvas. Dengan teknik membalik gambar di atas kanvas, Jogun berhasil mengambil citra yang diperlukannya, dan melepaskan kertas di atas kanvas.
Kehadiran teknologi masa kini, juga membantu proses kreatif pada karya-karya Jogun. Gambar-gambar yang ingin ditampilkannya secara wajar, tanpa harus membaliknya di atas kanvas, ia pindai terlebih dahulu dalam posisi terbalik pada alat pemindai, untuk mendapatkan hasil yang wajar ketika diterakan di atas kanvas. Teknik yang sangat halus, dan dapat membuat permukaan lukisan kolasenya menjadi rata itu kini terus dikembangkannya.
Adapun Adi Gunawan yang kini sudah mampu mencetak sendiri patung-patung perunggunya, mula-mula karena keterbatasan tempat untuk mencetak patung-patung logam. Sebelum ini, model-model patung yang telah dibuatnya dari bahan resin, diupahkan pada ahli pengecoran untuk dicetak. Namun, ia selalu menemukan pengalaman yang tak enak, mulai dari jadwal tunggu yang terlalu lama, tersebab banyaknya pesanan pengecoran, hingga melesetnya bentuk dari model ketika dicetak, karena sebagian pekerja pengecoran tak memahami bentuk-bentuk artistik.
Pengalamannya selama bertahun-tahun magang kerja pengecoran di Mojokerto, dan pengetahuan yang didapatkannya serba sedikit di Yogyakarta, membuat ia mencoba meramu dan akhirnya menemukan teknik pengecoran gayanya sendiri. Untuk mencetak karya-karya perunggu, di Mojokerto ia mempelajari membuat cetakan berupa campuran antara pasir dan tanah liat, sementara di Yogyakarta ia mempelajari teknik cetak yang menggunakan campuran gips dan pasir. Kedua teknik tersebut setelah dipelajari Adi memiliki banyak sekali kelemahan, selain memboroskan bahan bakar, waktu, juga banyak membuang-buang material. Dengan teknik yang ditemukannya sendiri, kini Adi dapat lebih menghemat material, waktu, dan bahan bakar.
Untuk sampai pada sebuah penemuan tersebut, Adi melewati sekian kali kegagalan yang menelan biasa cukup besar. “Sedikitnya saya pernah mengalami 12 kali kegagalan dalam percobaan pengecoran itu, sampai akhirnya menemukan takaran yang pas dalam mencetak karya”, jelas Adi yang dengan tekun mencatat segala masalah berkaitan dengan kegagalannya itu.
Pameran ini menandai perjalanan karya-karya kedua perupa yang, tak pernah berhenti mencoba sesuatu yang baru, baik dalam media maupun gagasan rupa. Penjelajahan media sebagaimana yang mereka lalui bertahun-tahun, adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia akan mempertajam bahasa ungkap, dan memudahkan bagi keduanya menerjemahkan gagasan-gagasan serumit apapun ke dalam karya-karya dwimatra maupun trimatra.