Lukisan-lukisan realis Hamdan Omar, Pratomo Sugeng, dan Seno Andrianto menunjukkan pada kita arah problematika dalam perkembangan realisme. ‘Realisme’ sendiri adalah pengertian yang rumit. Menurut salah seorang teoritisi budaya yang berpengaruh, Raymond Williams, rumitnya pengertian realisme tak hanya karena berlangsungnya intrik perdebatan yang tak terselesaikan di bidang seni dan filsafat hingga saat kini, tapi juga akibat bergantungnya pengertian itu pada dua istilah lain yang juga memiliki sejarah kebahasaan yang rumit, yaitu: ‘yang nyata’ (real) dan ‘realitas’ (reality). Toh, tetap ada semacam pokok perhatian umum dan dianggap penting secara historis dalam menafsirkan ‘realisme’ yaitu: persoalan menjadikan realitas sosial dan fisikal (dalam pertimbangan materialis secara umum) sebagai dasar penciptaan di bidang seni, kesusasteraan, maupun pergulatan pemikiran secara umum(1.
Terdapat pokok penting yang bisa kita teruskan dari penjelasan di atas, bahwa: (i) realisme tak hanya soal hasil gambaran yang bersifat realistik [pada karya] saja; atau melulu dianggap sebagai cara menggambar/ melukis/ mengerjakan karya (lukisan atau patung); pun (ii) pengertian realisme yang paling mendasar adalah soal mengenai orientasi sikap kultural para penganutnya dalam memposisikan makna dunia material (termasuk di dalamnya soal ‘realitas sosial’ dan ‘realitas fisikal’) pada tatanan nilai pengalaman hidupnya. Tentang dua pokok itu, Williams juga menyinggungnya dengan cara yang berbeda. Ia mengatakan: “(t)he difficulty is most acute when we see that realism in art and literature is both a method and a general attitude”(2.
Pada pengertiannya sebagai metoda dan teknik bekerja, karya-karya Hamdan Omar, Pratomo Sugeng, dan Seno Andrianto, tentu saja, memiliki kaitan yang jelas dengan pengertian realisme. Namun demikian, saya pikir, mereka justru menunjukkan orientasi arah yang tak persis sama dengan asumsi Williams menyangkut pertimbangan umum mereka mengenai kenyataan dunia material, Tentang ‘perbedaan’ orientasi sikap itulah arah problematika realisme yang saya maksud bisa kita telusuri.
Dalam prakteknya, istilah ‘realisme’ tak jarang dikaitkan dengan istilah ‘mimesis’. Umumnya, ‘mimesis’ diartikan sebagai hasil bentuk ‘tiruan’ (imitation) yang dilakukan dengan cara ‘menduplikasi bentuk secara serupa’ (copy) sehingga memiliki penampakkan yang serupa dengan model yang ditirunya. Bagi peneliti kajian Heurmeunetik, Hans-Georg Gadamer, menerjemahkan pengertian ‘mimesis’ hanya dalam artinya sebagai ‘tiruan’ (imitation) sangat problematis karena bermakna terlalu sempit. Bagi Gademer, pengertian ‘mimesis’ “has the sense of ‘making the absent present’”(3. Mimesis, dalam hal ini, bermakna sebagai manifestasi persoalan ‘mewujudkan’(dari hal ‘yang tak ada’ menjadi ‘ada’). Dalam pengertian Platonik: mimesis adalah soal ‘memanifestasikan dunia idea’ (mewujudkan ihwal dunia gagasan menjadi sesuatu yang tercerap secara fisikal).
Masalah realisme juga sering dikaitkan dengan pengkajian hasil-hasil peniruan yang bersifat realistik. Menurut kajian sistem bahasa (karena toh ekspresi seni rupa juga adalah manifestasi ‘berbahasa’), pengertian gambaran yang realistik ini ―yang memiliki karakter ‘keserupaan’ (resemblance) dengan apa yang bisa kita cerap melalui mata― disebut sebagai tanda yang berifat ‘ikonis’ (iconic). Karakter tanda yang dianggap ‘ikonik’ ―atau menjadi sistem bahasa yang bersifat piktural― ini berlangsung saat seseorang mampu menginterpretasikan sesuatu (gambaran) dalam pola penerimaan yang hampir sama dengan seseorang lainnya. Hal ini terjadi akibat adanya semacam ‘dasar penyamaan yang bersifat alamiah’ (natural generalitivity) yang memungkinan setiap orang mampu mengenali tiap-tiap obyek yang digambarkan. Interpretasi piktural mengenai kapasitas ‘natural generalitivity’ ini menyimpulkan bahwa sebuah gambar akan bisa menemukan dan menunjukkan berbagai ‘kapasitas pengenalan’ dari tiap-tiap orang mengenai berbagai hal yang dilihatnya dan kemudian menganggapnya sebagai ‘pengalaman melihat yang bersifat tipikal’ tentang dunia yang nampak bagi mereka(4. Sebagai bagian dari sistem bahasa, realisme dianggap memiliki sejenis ‘kapasitas pengenalan’ yang bersifat khas sekaligus berlaku sebagai sistem penerimaan umum dan dilumrahkan setiap orang.
Saat kini, tentu saja, soal cara penerimaan ‘gambaran yang realistik’ (realisme) yang jadi adat melihat yang umum itu dianggap tak lagi memiliki persoalan. Sebenarnya, situasi ini menjadi lumrah karena ada [teknologi] fotografi. Sebelum muncul fotografi, penggambaran bentuk secara realistik adalah manifestasi dari keterampilan yang khas dan bersifat khusus. Saat ini fotografi menjadikan cara penampakkan yang bersifat realistik itu seolah-olah adalah ‘kenyataan’ yang alamiah. Fotografi bahkan tak jarang meyakinkan kita, bahwa: apa yang sesungguh-sungguhnya nampak adalah sesuatu yang ‘obyektif’ yang dirujuk oleh mesin kamera. Sebenanya, sejak tahun tujuh puluhan, sudah muncul kecurigaan pada ‘tipuan’ nilai obyektivitas a’la fotografi ini ―apalagi kini, di era teknologi digital, penampakkan fotografi sudaj tak lagi bisa dipercaya bersifat ‘obyektif’ dan ‘alamiah’ karena kemampuannya untuk dimanipulasi secara grafis. Maka, apa yang nampak pada selembar foto sebenarnya tak sealamiah yang kita duga, juga tak akan serta merta menjadi sepengertian dengan apa yang kita pikirkan tentangnya. Lensa kamera (fotografi, video, atau film) pada prinsipnya bersifat terbatas, bekerja ‘hanya’ melalui batas-batas pandangannya (frame), sehingga pada dasarnya memisahkan persoalan tentang ‘apa yang direkam’ dengan ‘apa yang sesungguhnya terjadi sebagai peristiwa atau kesempatan’ tertentu. Sastrawan dan pemerhati budaya, Susan Sontag, merekam problematika penampakkan realitas yang dihasilkan teknologi fotografi ini secara filosifis. Katanya: “(i)n the world ruled by photographic images, all borders (“framing”) seen arbitrary. Anything can be separated, can be made discontinuous, from anything else: all that us necessary is to frame the subject differently. Conversely, anything can be made adjacent to anything else”(5.
Karya-karya yang ditunjukkan pada pameran ini adalah lukisan-lukisan realistik yang memiliki kaitan dengan pemanfaatan teknologi fotografi dan komputer. Dengan demikian, kita tak sedang membicarakan [tahap] perkembangan lukisan realisme seperti halnya kita pernah pelajari dari karya-karya ‘realisme’ di masa Barok, neo-clasisisme, atau yang dikerjakan semasa Gustave Courbert. Lukisan para seniman ini adalah tahap perkembangan realisme di era jalinan tradisi seni lukis dengan [pemanfaatan] teknologi fotografi dan manipulasi imej secara digital. Dengan demikian, setidaknya, asumsi soal realitas material yang dibayangkan masing-masing seniman ini tentulah berbeda (atau paling tidak, bergeser) dari titik pandang para seniman realis pendahulu mereka di masa sebelum dikenal akrab persoalan realitas fotografis.
Ada kesamaan dari karya-karya yang dikerjakan oleh Hamdan Omar, Pratomo Sugeng dan Seno Andrianto. Ketiganya menunjukkan penggambaran figur manusia secara realistik, dengan memanfaatkan kapasitas teknologi fotografi dan pengolahan imej digital dalam proses kerja mereka masing – masing. Meski dilakukan dengan cara yang tak sama, umumnya ketiganya juga memanfaatkan mesin komputer untuk melakukan proses editing imej sebelum mereka kerjakan sebagai lukisan (khususnya dilakukan oleh Hamdan Omar dan Pratomo Sugeng). Persamaan lain adalah soal pengolahan bidang atau ruang. Ketiganya secara masing-masing mengolah ruang atau bidang kosong sebagai latar penempatan subject matter lukisan mereka. Dengan demikian, mereka tak hanya ‘memisahkan’ imej realistik yang mereka pilih dari [penampakkan dan pandangan mengenai gambaran] realitas kehidupan yang konkrit, tapi juga mengatur penempatan pillihan imej itu dalam suatu pertimbangkan bidang yang khusus. Bagi saya, mereka seolah hendak merealisasikan subyek matter perhatian mereka secara optimal sebagai saluran ekspresi. Bidang latar kanvas yang mereka persiapkan sebenarnya bukan ruang kosong yang tak mengandung aksentuasi persoalan. Sebaliknya, bidang itu adalah lokasi penguatan gagasan yang penting, jadi tempat bagi berbagai permainan bentuk untuk menegaskan perhatian mereka pada kesadaran persoalan yang tengah dihadapi.
Lukisan-lukisan Seno Andrianto umumnya menunjukkan gambaran tentang potret-diri (self-portrait): tema yang telah jadi pokok perhatian para seniman Indonesia sejak tahun 1990’an. Karya-karya Seno pun menggali tema gambaran diri sebagai lokasi ‘tempat’ berkembangnya relasi antara diri dengan pihak lain. Gambaran potret (diri) itu menyerap renungan soal bagaimana diri (seseorang) berkaitan dengan penilaian, persepsi, atau kepentingan pihak lain (di luar dia) yang lebih besar dan menentukan. Pencitraan tentang ‘diri’ (self) di luar Barat lebih umum menunjukkan persoalan bagaimana nilai-nilai komunal menemukan pantulan gambarannya pada imej diri seseorang, dan tidak sepenuhnya menunjukkan upaya pencarian ekistensial dari sang diri demi menegaskan posisinya pada kumpulan atau kerumunan individu-individu. Dengan demikian, imej diri pada prinsipnya menjadi bentuk dari versi penafsiran personal terhadap satuan nilai komunal atau yang telah diterima secara umum (yang berkenaan dengan tiap-tiap sang Diri). Beberapa lukisan Seno yang lain menunjukkan konteks persoalan sosial tersebut secara lebih tegas. Ini pun, bagi saya, tetap menyiratkan semacam proses personalisasi berbagai nilai kepedulian yang bersifat publik (personalization of the public concerns) yang diarahkan dalam menilai dan mengkaji berbagai persoalan sosial (politik) yang tengah berlangsung dewasa ini.
Lukisan-lukisan Pratomo Sugeng bermula dari lingkup perhatian yang bersifat personal namun menunjukkan gambaran nilai kepedulian yang bersifat umum. Sugeng, misalnya, memperhatikan dunia hidup dan permainan anak-anak sebagai inspirasi berkarya yang tak pernah habis. Tak hanya soal anak-anak, ia juga mengambil sosok-sosok wanita atau laki-laki tua sebagai tema persoalan berkarya. Baginya, figur-figur itu tak hanya berlaku sebagai model (lukisan) tetapi juga jadi semacam tanda-tanda yang menghubungkan perenungan personalnya pada bukti-bukti yang berlaku secara sosial. Dengan cara melukis yang khas Sugeng menjajarkan berbagai gambaran imej sebagai suatu kesatuan bentuk yang mengikat sekaligus dimensi waktu dan narasi persoalan. Pada lukisan-lukisannya, Pratomo Sugeng melakukan semacam proses yang khas mempublikasikan kepedulian nilai yang bersifat personal dalam konteks persoalan bersama. Dengan cara seperti ini, Sugeng mencoba menegaskan pendapat bahwa sisi-sisi penilaian dan kepedulian yang bersifat personal pada dasarnya adalah juga bagian dari suatu nilai komunalitas dan perspektif pemahaman umum untuk mengenal dan bisa menetapkan nilai-nilai kebaikan bersama.
Hamdan Omar memahami ‘perspektif pemahaman umum untuk mengenal dan bisa menetapkan nilai-nilai kebaikan bersama’ ini dengan cara mengundang kita terlibat pada persoalan apresiasi makna bidang berwarna. Pada komposisi bidang kosong lukisan-lukisannya Hamdan menempatkan imej figur laki-laki dengan postur dan proporsi tubuh ideal. Jelas, Hamdan tak hendak menggambarkan [identitas] sosok itu, ia menggunakannya ‘hanya’ jadi semacam tanda-tanda khusus yang ia tempatkan bersama dengan simbol yang sudah dikenal umum (simbol: Yin Yang). Hamdan menunjukkan komposisi sikap gestural [tubuh] manusia pada lukisannya itu jadi semacam ‘kode’ yang bisa menghubungkan rantai pemaknaan antara: soal kehadiran [imej] tubuh dan penggalian persoalan mengenai nilai penguasaan dan keseimbangan. Lukisan-lukisan Hamdan Omar terasa menjadi lebih kuat karena juga mengandung permainan peran komposisi bidang kosong sebagai ruang-ruang bermakna. Pada ruang itulah proyeksi kesadaran nilai tentang kebaikan, keseimbangan , dan penguasaan diri disandarkan. Ruang bermakna yang dibuat Hamdan itu pula yang menjadi ‘bidang-bidang pembedaan’ yang membangun soal makna tentang keberadaan [sosok] manusia yang mesti berpijak pada dasar-dasar sikap keyakinan diri.
Secara umum, lukisan-lukisan Hamdan Omar, Pratomo Sugeng dan Seno Andrianto jelas menyatakan semacam ajakan pada kita untuk [kembali] menyerap pengalaman berharga ekspresi seni. Dengan demikian, sebuah lukisan bermakna bukan melulu karena proyeksi sikap dan pandangan para senimannya, tetapi juga karena wilayah interaksi yang melibatkan penerimaan nilai-nilai yang telah dianggap bersifat publik. Ekspresi seni, dengan demikian, diharapkan mampu membiarkan kita [kembali] memiliki jarak dengan rutinitas hidup kita sehari-hari demi kepentingan sikap reflektif. Sebagai obyek yang bersifat publik, karya seni memungkinkan setiap orang saling berbagi pengalaman dan melalui dasar-dasar sensibiltas artistik ia membantu kita secara bersama merasa terikat pada manifestasi kesadaran budaya(6.
Lukisan-lukisan yang dikerjakan ketiga seniman ini masing-masing seolah-olah tengah menyiapkan semacam rute penjelajahan kesadaran mengenai lingkungan dan kehadiran ‘Diri’ di antaranya. Setiap seniman, di sini, berusaha menunjukkan sejenis peta kesadaran menurut versi mereka, dan juga dijadikan tawaran bagi langkah apresiasi nilai yang bisa kita lakukan. Estetikus Anthony Savile menjelaskan soal penglaman berharga ekspresi seni ini secara inspiratif. Ia mengatakan: “(t)he role of the arts in helping to prevent ossification in our assumptions about the world and our affective response to other. The arts help us to feel our way into the situations of other in all their subtlety”(7.