COMICAL BROTHERS

Pada 1995-an di Yogyakarta muncul Core Comic atau sejenis komik kompilasi yang diprakasai oleh beberapa mahasiswa seni rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, antara lain; Sigit Pius, Ade Darmawan, Bintang Hanggono, Popok Triwahyudi, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Samuel Indratma, Ari Dyanto, Sofwan Zarkasi (Kipli), dan lain-lain. Tak lama kemudian, Core Comic langsung banyak dikenal orang setelah aktivitas mereka membuat komik itu disebar di Pasar Seni ITB’95, bahkan sempat dipublikasikan oleh sebuah media nasional (TEMPO) sebagai komik underground (komik indie).

 

Namun demikian, di beberapa kota besar lainnya atmosfir komik sudah muncul lebih duluan, yakni sekitar tahun 1992-an, misalnya seperti QN di Bandung dan Sektekomik di Jakarta. Sementara itu, pada 1994-an, komik Bad Times yang dibuat oleh Athonk (bernama lengkap Sapto Raharjo), Si Pure Black Tattoo sudah diproduksi dengan model foto-copian di Jogja yang pendistribusiannya sampai ke USA, UK dan Australia. Kendati demikian, Core Comic lah yang dianggap menjadi pemicu lahirnya scene indie di Jogja, bahkan kegiatan ngomik mereka itu sempat menerbitkan beberapa seri komik kompilasi, seperti Komik Game, Komik Selingkuh, Komik Anjing, dan terbitan yang terakhir Komik Kuman).

 

Seperti yang sudah disinggung di atas, para penggiat komik ini kebanyakan berangkat dari lingkungan pendidikan tinggi seni rupa, secara otomatis memiliki kebiasaan bebas berekspresi (individual) yang mengadopsi komik sebagai bagian dari medan kreatifnya. Bahkan, secara ideologis mereka menerbitkan komik indie sebagai bentuk pembedaan dan melawan hegemoni komik mainstream, bahwasanya komik adalah seperti halnya yang berjajar di sebuah rak-rak toko buku, komik hanya menjadi dunia hiburan yang penuh canda-tawa di lingkungan anak-anak. Maka, jenis Core Comic dan generasi sesudahnya salahsatu wujud kritik terhadap stigma keberhasilan sebuah komik adalah jika sudah laku ditoko, pada saat itu mereka membuat komik untuk diri mereka sendiri. Sehingga adopsi pada komik sebenarnya hanya terjadi pada reproduksi dalam toleransi jumlah yang terbatas, tidak berniat menjual sebanyak mungkin, dan adopsi pada sifat komik sebagai rangkaian gambar yang bercerita dengan membebaskan diri dari karakter atau penokohan dan cara baca linear. Penolakan terhadap konvensi komik umum ini sekaligus menolak komunitas komik yang populis, karena segmen komik ini ternyata menyusut menjadi eksklusif. Kendati demikian, sebagian besar dari mereka tidak mempedulikan booming penggemar, dan di samping itu juga tidak mempedulikan bagaimana langkah mereka mengoyak anggapan stagnasi komik Indonesia. Sebagai contoh komunitas komik Daging Tumbuh, sebuah komik indie yang hingga kini masih reguler penerbitannya, merupakan bentuk terobosan komik indie dan mendekatkan terbitannya pada bentuk wadah murni -- yang mau menampung apa saja selama itu memungkinkan untuk reproduksi dan menjadikannya sebagai 'Seni Reproduksi'.

 

Karena kebanyakan seniman komik indie belajar seni rupa secara formal di perguruan tinggi seni, sehingga hal itu memberikan aspek visual yang mereka kuasai melebihi kemampuan untuk menggarap narasi komiknya. Kemampuan menggambar inilah yang kemudian menjadikan jenis komik yang diproduksi menjadi penuh beragam tampilan visualnya. Oleh karena itu, istilah Art Comic, kemungkinannya lebih tepat diberikan daripada penggunaan istilah komik. Dari kemampuan mengolah unsur visual itulah kemudian berakibat positif, yaitu dengan munculnya beragam karakter dalam komik mereka, bahkan sampai dengan kemunculan tokoh-tokoh komik yang sangat membumi, sangat lekat dengan keseharian hidup mereka. Dari kecenderungan itu, beberapa orang kemudian tidak lagi mengusung tema-tema superhero, malahan yang terjadi bisa sebaliknya, yakni anti superhero. Di samping itu, tokoh dalam komik mereka bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang remeh, atau tidak dianggap penting namun ternyata mempunyai nilai filosofis yang kuat. Dengan kata lain, karakter dan gaya berkomik menjadi sebuah bahasa ekspresi baru.

 

Sebenarnya gejala komik lukisan bukanlah hal baru dalam ranah seni rupa di Indonesia, untuk menyebut salah satu contohnya adalah komik bikinan Delsy Sjamsunar. Beliau banyak membuat komik, lukisan dan ilustrasi untuk keperluan komersial maupun keperluan ekspresi personal. Simak lebih lanjut tulisan Hikmat Darmawan pada jurnal Cipta berikut ini;

“Komik lukisan” sebetulnya adalah sebuah istilah yang masih menyimpan musykilat. Apakah itu komik yang disusun dari lukisan-lukisan, dan bukan gambar-gambar? Ataukah itu komik yang dibuat kesadaran atau ambisi artistik seperti ambisi seni lukis? Sebuah kesadaran seni rupa dalam membuat komik? Dengan kata lain, apakah itu komik yang diperlakukan sebagai seni rupa (baik oleh pembuatnya, maupun oleh pembaca dan kritikusnya)? Ataukah itu lukisan-lukisan yang mengapropriasi bentuk-bentuk ucapan dasar komik? Ataukah itu lukisan-lukisan naratif yang jika disusun lantas membentuk cerita selayaknya komik?

 

Bentuk-bentuk bahasa ekspresi baru tersebut, terutama dalam medan (field) seni rupa belakangan ini niscaya semakin marak dengan terciptanya taste karya-karya serba yang komikal. Entah disadari atau tidak, pada kenyataannya para seniman banyak yang memakai unsur-unsur komikal dalam karyanya. Narasi, teks, dan gaya pop art banyak sekali digunakan -- Efek dari budaya popular dalam televisi, majalah, fashion dan tingkah laku (lifestyle) banyak dijadikan elemen dalam karya seni rupa. Di jepang misalnya, bahkan lukisan dengan gaya Manga semakin banyak dijumpai. Lukisan-lukisan ini secara gamblang menggambarkan tokoh-tokoh komik Jepang. Gejala melukis seolah menjadi kegiatan membuat ilustrasi, yang sarat dengan kemampuan menggambar. Kanvas atau media lainnya dihadapi dengan pendekatan seperti halnya kertas.

 

Pameran ini bertujuan untuk melihat perkembangan seni komik sehubungan dengan persinggungannya dalam medan seni rupa yang sekarang sedang marak dengan kecenderungan karya-karya yang komikal. Komik, terutama komik indie yang marak pada tahun 1995 – 2000an ternyata di kemudian hari banyak melahirkan seniman-seniman yang nyaris selalu mengangkat metode naratif dalam karyanya. Bagaimana kemudian unsur gambar, teks dan kekuatan cerita menjadi hadir pada karya-karya para seniman ini? Selanjutnya, apakah para seniman yang memakai metode naratif tadi (kebanyakan memakai media lukisan) benar-benar pernah membuat komik? Apakah metode naratif hanya dipinjam sebagai sekedar ungkapan dalam karyanya atau memang merupakan bagian dari perjalanan proses kreatifnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian yang menjadi semacam thesis dalam pameran ini. Dengan demikian, lewat pameran ini, paling tidak kita bisa melihat penampang di dua dunia: komik dan art-world. Dua dunia yang selama ini seolah-olah terpisah, meski beberapa tahun terakhir anggapan semacam tadi sudah terpatahkan. Asumsinya adalah beranjak dari kegiatan produksi komik (buku komik), yang setelahnya akan dipikirkan kegiatan post-productions nya, dan arahnya adalah ke masalah pemasaran (menjual buku komik tersebut). Nah, katakanlah bahwa dalam pameran ini menjadi semacam bentuk kegiatan post-productions, atau semacam membuat merchandise atau memindahkan bagian dari komik tersebut menjadi sebuah karya baru. Aplikasinya bisa dalam wujud lukisan, drawing, digital print, toys/patung, baik yang fungsional maupun menjadi pajangan semata. Dan, untuk membatasi kerangka kuratorial, pameran ini sengaja (hanya) mengundang para seniman yang pernah atau masih aktif membuat komik (buku komik).